Al-Ustadz, AI-‘Aalim, AI-Adiib, Azzaahid, AI-Mutawadli’, Al-Haliim,
AI-Mujahid fi Sabilillah. KHR. Abdullah bin Nuh dilahirkan di kota
Cianjur pada tahun: 1324 H/ 1905 M, putera dari seorang ibu bernama Nyi
Rd. H. Aisyah dan dari seorang
ayah bernama KHR. Nuh.
NASABNYA
HR.
Abdullah putera KHR. Nuh; putera Rd. H. Idris, putera Rd. H. Arifin,
putera Rd. H. Sholeh putra, Rd.H. Muhyiddin Natapradja, putra Rd. Aria
Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar IV
(Dalem Sabiruddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar III (Dalem
Astramanggala), putra Rd. Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala),
putra Rd. AnaWiratanudatar I (Dalem Cikundul).
CIANJUR DAN I’ANAH
Cianjur
ialah sebuah kota yang sejak dahulu telah terkenal para Ulama dan para
pahlawannya, Para Ulama giat menyebarkan ilmunya. Tak kenal lelah dan
tanpa mengharapkan upah. Para pahlawannya gigih, berani dalam
melaksanakan perjuangan, tanpa pamrih gaji. Kesemuanya hanyalah
mengharapkan kendhoan Allah swt dan Rohmat-Nya.
Pada tahun 1912
dikota Cianjur berdirilah sebuah Madrasah yang bernama Al-l’anah ;
pendirinya ialah juragan Rd. H. Tolhah Al Kholidi, sesepuh Cianjur pada
waktu itu. Dalam pembinaannya beliau dibantu oleh seorang Cucunya
AI-Haafidh (yang hafal AI Qur’an) As-Sufi (yang menguasai kitab Ihya
‘Ulumuddin) K.H.R. Nuh, seorang ‘Aalim besar keluaran Makkah
Almukarromah, murid seorang ulama besar yang ilmunya barokah, menyebar
keseluruh dunia Islam, yang bermukim di kota Makkah AI-Mukarromah, yaitu
: K.H.R. Mukhtar Al-thoridi, putra Jawa (Bogor)
Nadhir (Guru
kepala) nya waktu itu adalah Syekh Toyyib Almagrobi, dari Sudan.
Bertindak sebagai pembantu (guru bantu) adalah Rd. H. Muhyiddin adik
ipar Juragan Rd. H. Tolhah AI-Kholidi. Murid pertamanya adalah : Rd. H.
M. Sholeh Almadani.
Syekh Toyyib Almagrobi mengajar di AI-I’anah
hanya 2 (dua) tahun, karena beliau diusir oleh.pemerintah Belanda. Maka
untuk mengisi kekosongan, Nadhir AI-I’anag dipegang oleh AI Ustadz Rd.
Ma’mur keluaran pesantren Kresek Garut (Gudang Alfiyah) dan lulusan
Jami’atul Khoer Jakarta (Gudang Bahasa Arab). Diantara murid-muridnya
ialah :
1).Rd. Abdullah,2).Rd. M. Soleh Qurowi 3). Rd. M. Zen
Jari
AI I’anah Almubarokah inilah muncul para pahlawan dan sastrawan Muslim
yang namanya tidak akan sirna, tetap tercantum dalam lembaran sejarah,
diantaranya ialah Rd. Abdullah bin Nuh. Beliau telah menguasai Bahasa
Arab sejak usia 8 (delapan) tahun (penjelasan beliau sendiri sewaktu
hidup kepada salah seorang muridnya).
Rd. Abdullah bin Nuh adalah
juara Alfiah, beliau sanggup menghafal Al-fiah lbnu Malik dari awal
sampai akhir dan dibalik dari akhir ke awwal (demikian menurut AI-Ustadz
Rd. Abubakar sesepuh Cianjur). Walhasil: kecerdasan, bakat dan watak
Rd. Abdullah bin Nuh semenjak duduk di bangku Madrasah AI-I’anah sudah
nampak jelas keunggulannya.
Selain belajar di AI-I’anah, Rd.
Abdullah bin Nuh tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari
ayahnya beliau. (Beliau pernah berkata kepada salah seorang muridnya :
“Mama mah tiasana maca Kitab lhya teh khusus ti bapa Mama” begitu dengan
logat Cianjurnya). Jadi jelas, Kota Cianjur adalah Gudang Ulama, pabrik
para pahlawan dan pusat para santri. Maka tidak heran kalau kota
Cianjur sejak dahulu penuh dikunjungi oleh para peminat ilmu Syari’at
Islam dari seluruh pelosok Jawa Barat, dari daerah Priangan Sarat sampai
ke Timur seperti : Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.[pagebreak]
PEKALONGAN DAN SYAMAILUL HUDA
Pekalongan
sebuah kota kecil yang mungil, berhasil mencetak kader-kader Muslim
yang militan dan berwatak, membina mental pemuda -pemuda Islam yang
berjiwa pahlawan dan bercita-cita tinggi menuju Indonesia Merdeka dengan
landasan Kalimatullahi Hiyal ‘Ulya.
Di kota Pekalongan telah
berdiri sebuah madrasah Arabiyyah yang benama “Syamailul Huda” yang
terletak di JI. Dahrian (sekarang JI. Semarang). Madrasah tersebut
mempunyai sebuah internat (pondok pesantren) dipinggiran JI. Raya,
ditengah-tengah keramaian manusia, bahkan tepat berhadap-hadapan dengan
sebuah gedung bioskop. Nakhoda madrasah tersebut ialah seorang Sayyid
keturunan Hadrol Maut bernama: Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir
AI-‘Alawi Al-Hadromi. Beliau seorang ‘Alim yang berjiwa besar,
bercita¬cita tinggi, berpandangan luas. Beliau tak mengenal payah dan
lelah, tak ingin melihat putra-putri Islam tidak maju. Beliau
bersemboyan: “sekali maju tetap maju, bekerja dengan semangat, disertai
ikhlas niat, pasti dapat dengan selamat “.
Di Madrasah dan
internat inilah Sayyid Muhammad bin Hasyim mendidik, menerapkan ajaran
Islam, menggemleng pemuda-pemuda yang berwatak, calon pahlawan/ Da’i/
Muballig dan Ulama.
Syamailul Huda dan internatnya, laksana
Masjidil Harom dan Darul Arqom di zaman Rosulullah saw. Pemuda-pemuda
didikan Rosulullah saw di Darul Arqom, kadar Islamnya kuat, keyakinannya
bulat, akhlaqul karimahnya mengkilat, terlihat sinarnya memancar dari
pribadi-pribadi para sahabat dikala itu, mereka berpegang teguh kepada
amanah Rosulullah S.A.W
Hidup terpuji dimata masyarakat bangsa, mati syahid perlaya di medan laga membela agama Allah swt.
Pada
tahun 1918 putra-putra Cianjur, murid-murid pilihan dari madrasah
AI-I’anah berangkat ke Pekalongan menuju Syamailul Huda. Putra-putra
pilihan itu ialah :1). Rd. Abdullah, 2). Rd.M.Zen, 3). Rd. Taefur Yusuf
, 4). Rd. Asy’ari, 5). Rd.Akung, 6). Rd. M. Soleh Qurowi
Beliau-beliau
inilah yang termasuk murid-murid dakhiliyyah yang bermukim di Internat
(Pondok Pesantren) Syamailul Huda bersama-¬sama dengan teman-temannya
yang berjumlah sekitar 30 orang (dari Ambon, Menado, Surabaya,
Singapura, dan Malaysia/ daratan Malaka). Sahabat karib Rd. Abdullah bin
Nuh pada waktu itu, yang masih ada sekarang, ialah yang telah penulis
temui ditempat kediamannya JI. Surabaya No. 69 Pekalongan, Al Ustadz
Said bin Ahmad Bahuwairits (kelahiran Ambon). Beliau lebih tua usianya
dan Rd. Abdullah bin Nuh, beliau dilahirkan di Ambon pada tahun 1904
(waktu di Syamailul Huda Rd. Abdullah bin Nuh kelas 3, AI Ustadz Said
kelas 4).
Sewaktu penulis menemui beliau, banyak sekali kata-kata
mutiara yang diucapkannya. Beliau memulai percakapan dengan kata-kata:
“Waktu saya berziarah ke rumah Abdullah kebetulan waktu sholat Maghrib,
saya tahu persis keadaan dalam rumahnya, hanya dua kamar yang sempit dan
satu kamar mandi yang darurat. Padahal kalau melihat ilmunya, dan
banyak murid-muridnya, dia itu orang besar, sudah tidak sesuai lagi.
Tidak seperti orang-orang besar sekarang mobil-mobil banyak,
gedung-gedungnya mewah, dengan rumah saya saja sudah jauh berbeda
“(rumah AI Ustadz Said itu gedung dan besar sekali).
Beliau (AI
Ustadz Said) melanjutkan dengan ucapan beliau: “Maka dari gambaran
suasana rumahnya yang sangat sederhana itu, Masya Allah - Masya Allah -
Masya Allah, Abdullah sedang syugul lillahi Ta’ala, dia AZ-Zaahid”
1. Inilah Ulama, ini waktu, mencari seperti itu tidak ada ;
2. Abdullah tetap Abdullah sebagai Kiyai ;
3. Ini hidup yang benar ;
4. Ini thoriq (jalan) yang benar ;
5.
Abdullah saudara saya betul Amanat-amanat beliau kepada putra-putri
AI-Ustadz Abdullah bin Nuh: 1). Berjalanlah menurut Abdullah bin Nuh ;
2). Ana ad’uu lahum (Aku berdoa untuk mereka); 3).Panggillah saya
‘aamii (anggaplah orang-tuanya) ; 4). Salam dari saya kepada keluarga
Abdullah ; 5). Dan minta foto Abdullah setetah mendekat wafat
AI
Ustadz Said bin Ahmad Bahuwairits memberi julukan kepada Rd. Abdullah
bin Nuh dengan julukan: 1). Al Ustadz ; 2). AI-‘Aalim ; 3). Al-Adiib ;
4). Azzahid ; 5). Al-Mutawadli’ ; 6). AI-Haliim. Lalu penulis
menambahkan dengan “Al-Mujahid fii Sabilillah’,beliau mengiyakan.
Madrasah
Syamailul Huda ialah Samudra tempat menimba tinta mas Ilmu Ilahi.
Internatnya laksana ladang tempat mendulang berlian llmu Agama Allah
swt. Maka tidak sedikit pentolan-pentolan Ulama dan pahlawan yang
dihasilkan dari Madrasah tersebut. Diantaranya yang berhasil dengan
gemilang dan menonjol sekali Rd. Abdullah bin Nuh, putra Cianjur,
sehingga beliau menjadi kesayangan gurunya.
Rd. Abdullah bin Nuh
sewaktu duduk di kelas 4 kelas terakhir Syamailul Huda, telah turut
aktif mengaji bersama-sama dengan para guru Madrasah tersebut. Jadi Rd.
Abdullah bin Nuh sudah lebih dahulu maju dari teman-teman kakak
kelasnya.[pagebreak]
SURABAYA DAN HADROL MAUT SCHOOLNYA
Kota
Surabaya ialah kota yang terkenal arek-areknya di zaman revolusi fisik
dan jadi kebanggaan masyarakat Surabaya para patriotnya, dari kota 19
sampai kedesa-desa. Kira-kira pada akhir tahun 1922 AI-Ustadz Sayyid
Muhammad bin Hasyim pindah ke Surabaya ; Rd. Abdullah bin Nuh dibawa dan
dikembangkan bakatnya.
Di kota Surabaya pada waktu itu ada
sebuah gedung besar dan tinggi letaknya dekat jembatan besar di Jln.
Darmokali (dulu Noyo Tangsi). Penulis melihat dimuka gedung itu sebelah
atas ada tulisan tahun 1914 waktu didirikannya. Di gedung inilah Sayyid
Muhammad bin Hasyim mendirikan sekolah “Hadrolmaut School” untuk
menyebar Ilmunya dan melatih anak-anak didik yang dibawanya dari
Pekalongan, dalam rangka mengembangkan bakat dan penampilan kemampu§n
anak-anak didiknya tersebut.
Hadrolmaut Shool di Surabaya laksana
Masjid Quba di Madinah sewaktu Rosulullah saw mulai menginjakkan kakinya
dibumi Madinatul Munawwaroh: Tempat Rosulullah saw, mempersaudarakan
ummat yang berbeda-beda bakat dan adat istiadat, tempat mempersatukan
kaum Muslimin yang bermacam-macam faham dan pendapatnya, tempat
Rosulullah saw mengatur siasat; bermasyarakat dan lain-lain.
Gedung
“Hadrolmaut School” ialah tempat Rd. Abdullah bin Nuh dan
teman-temannya dididik, dibina, digembleng cara praktek mengajar,
berpidato, memimpin dan lain-lain yang dipertukan.
Rd. Abdullah bin
Nuh disamping diperbantukan mengajar disekolah tersebut, beliau tidak
henti-hentinya menyerap dan menerima bermacam-macam ilmu Agama dan Umum,
mempelajari beraneka ragam bahasa dari gurunya. Demikianlah keadaan Rd.
Abdullah bin Nuh di kota Surabaya, beliau berjiwa arek-arek Suroboyo
yang paling lincah berjuang. Dengan ilmunya yang mendalam, jiwa yang
suci dan kemauannya yang kuat, maka beliau terpilih sebagai siswa yang
akan dibawa ke Mesir oleh gurunya besama-sama dengan teman-temannya,
sebanyak 15 orang.
Teman Rd. Abdulah bin Nuh yang bersama-sama
belajar di Mesir yang masih ada di Kota Surabaya sekarang, ialah
AI-Ustadz Abdul Razak AI-‘Amudi di kompleks IAIN Wonocolo. Beliaulah
yang menyandang gelar: Syahadatul Aalimiyah dari “Jami’atul Azhar” dan
Deblum Daril ‘Ulumil ‘Ulya dari Madrasah Darul ‘Ulumul ‘Ulya.
Waktu
penulis menemui beliau ditempat kediamannya, beliau berkata :
“AI-Ustadz Abdul Rozaq, tetapi AI-Ustadz Abdullah bin Nuh lebih
mendalam”.
MESIR DAN AL-AZHARNYA
Bertepatan
dengan didudukinya Kota Makkah AL-Mukarromah oleh kaum Wahabiyyin dan
keluarnya Malik Husen meninggalkan Makkah pada tahun 1343 H (_+ tahun
1925 M), AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh bersama sama teman-temannya yang
15 orang itu dibawa gurunya ke Mesir untuk melanjutkan pelajarannya.
Perguruan Tinggi di Mesir pada waktu itu hanya dua : 1. Jami’atul
Azhar ( Syari’ah ) :Lama belajar 6 tahun mendapat gelar : Syahadatul
‘Alimiyah. Lama belajar 3 tahun mendapat gelar : Syahadatul Ahliyyah. 2.
Madrasah Darul’ Ulum AI-‘Ulya (AI-Adaab)
Lama belajar 4 tahun
mendapat gelar: Deblum Daril ‘Ulumil ‘Ulya Syarat-syarat masuk Jami’atul
Azhar diantaranya harus hafal AI-Qur’an 30 Juz. Tetapi murid-murid yang
dibawa oleh AI-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim yang 15 orang itu
mendapat prioritas diterima dengan hafal beberapa surat. Pengecualian
ini menunjukkan kebesaran dan keberkahan murid-murid AI-Ustadz Sayyid
Muhammad bin Hasyim. AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh bersama-sama dengan
teman-temannya mula-mula bertempat tinggal di Syari’ul Hilmiyyah, lalu
berpindah ke Syari’ul Bi’tsah Bi Midanil Abbasiyah. Pelayannya
orang-orang Yaman.
Siang dan malam AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh
tidak henti-hentinya belajar. Waktu adalah betul-betul berharga bagi
betiau. Keluar dari Jami’atul Azhar beliau pulang hanya mengganti
pakaian, memakai pantalon, berdasi dan memakai torbus, terus mengikuti
pengajian-pengajian di luar AI-Azhar. Mahasiswa AI-Azhar mempunyai ciri
khas ialah berjubah dan bersorban dibalutkan dikepala (udeng).
AI-Ustadz
Rd. Abdullah bin Nuh di Mesir sudah tidak mempelajari bahasa Arab lagi,
karena beliau ketika masih di Indonesia sudah benar-benar pandai dan
ahli, mengusai berbagai bahasa. Beliau di Mesir hanya belajar fak Fiqih
(ini menurut cerita beliau kepada salah seorang muridnya, katanya dalam
bahasa Sunda Mama mah di Mesir teh mung diajar ilmu fiqih wungkul”.
Selanjutnya beliau bertanya: “Dupi salira kitab-kitab fiqih naon anu
parantos diaos? Dijawab oleh muridnya dengan menyebutkan beberapa kitab
Fiqih. Setelah sampai menyebut kitab Iqna, maka beliau berkata: “Mama
mah tamatna Iqna teh di Mesir, ari salira mah tamat Iqna teh di
Indonesia.”
Dengan berkah ketekunan dan kesungguh-sungguhan, maka
AI-Ustadz Abdullah bin Nuh di Mesir telah kelihatan sebagai seorang
Pelajar yang paling cakap di dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
AI-Ustadz Abdur Rozzaq berpendapat: “Sebabnya Abdullah itu mempunyai
kelainan daripada teman-¬temanya yang semasa, karena dia mendapatkan
banyak ilmu dari hasil muthola’ah. Muthola’ah satu kitab saja sampai 10
kali. Inilah syarat muthola’ah kata AI-Ustadz Abdullah bin Nuh. Diantara
kitab yang didawamkan muthola’ah : ialah kitab : ARAB 2
AI-Ustadz
Abdullah bin Nuh belajar di Mesir hanya selama dua tahun, dikarenakan
putra gurunya yang beliau temani tidak merasa betah dan gurunya pulang
ke Hadrolmaut, maka AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pun pulang ke
Indonesia. Inilah riwayat hidup singkat beliau masa belajar/
tholabul’ilmi atau masantren.[pagebreak]
MADRASAH P.S.A.
Pada
tahun 1927 AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pulang dari Mesir ke
Indonesia (Cianjur. Pada akhir tahun 1927 pergi ke Bogor (Ciwaringin).
Beliau mengajar: 1. Di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh Mama
Ajengan Rd. Haji Manshur.2.Para Mu’allim yang berada di sekitar Bogor.
Pada awal tahun 1928 beliau pindah ke Semarang tetapi tidak lama
yaitu hanya 2 (dua) bulan, kemudian kembali ke Bogor. Lalu pulang lagi
ke Cianjur dan beliau membantu (jadi guru bantu) mengajar di AI-I’anah,
waktu itu nadhirnya AI-Ustadz Rd. H.M. Sholeh AI-Madani (sekitar tahun
1930). Setelah itu beliau pergi lagi ke Bogor kedua kalinya dan
bertempat tinggal di Panaragan. Pekerjaan beliau adalah: 1. Mengajar
para kyai. 2.Jadi korektor Percetakan IHTIAR (Inventaris S.I.)
Pada
tahun 1934 di Bogor (di Ciwaringin) didirikan Madrasah P.S.A. (Penolong
Sekolah Agama). Maksud didirkannya PSA adalah untuk mempersatukan
madrasah-madrasah yang ada di sekitar Bogor yang berada di bawah asuhan
Mama Ajengan Rd. H. Manshur.
Susunan Pengurus P.S.A. ialah
:Ketua, Mama Ajengan Rd. H. Mansur, Sekretaris M.B. Nurdin (Marah
Bagindo), Inspektur K. Usman Perak. Ketua Dewan Guru/ Direktur.
AI-Ustadz Rd.H.Abdullah bin Nuh, Pembantu/ Sekretaris Rd. Ali Basah
Selain
memimpin madrasah-madrasah, juga AI-Ustadz mengajar di MULO (SLTP).
Pada tahun 1939 Madrasah P.S.A, pindah ke jalan Bioskop (JI, Mayor
Oking, yang sekarang dipakai Mesjid)
Dari tahun 1939 s.d 1942 beliau
tetap bertempat tinggal di Panaragan dan setiap hari mengajar ngaji para
Kyai. Walaupun AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh ilmunya telah begitu
banyak, tetapi selama di Bogor beliau masih terus menambah ilmunya dari
seorang ulama (Mufti Malaya) yaitu Sayyid ‘Ali bin Thohir.
PETA
Sejarah
mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti
lahirnya HIZBULLAH beberapa minggu kemudian di mana para alim ulama
kemudian masuk menjadi anggota organisasi itu. Tahun 1943 tersebut benar
benar merupakan tahun penderitaan yang amat berat khususnya bagi umat
Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan
bahwa saat itu adalah merupakan salah satu ujian paling berat bagi
bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1943 itulah AI-Ustadz Rd. H. Abdullah
bin Nuh masuk PETA dengan pangkat DAIDANCO yang berasrama di Semplak
Bogor.
Lalu pulang lagi ke Cianjur dan beliau membantu (jadi guru
bantu) mengajar di AI-I’anah, waktu itu nadhirnya AI-Ustadz Rd. H.M.
Sholeh AI-Madani (sekitar tahun 1930). Setelah itu beliau pergi lagi ke
Bogor kedua kalinya dan bertempat tinggal di Panaragan. Pekerjaan beliau
adalah: 1. Mengajar para kyai. 2. Jadi korektor Percetakan IHTIAR
(Inventaris S.I.)
Pemimpin-pemimpin umat ini, para alim ulama di
sana-sini ditangkap oleh Dai Nippon, diantaranya Hadlorotnya Syekh
Hasyim Asy’ari pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng. Beliau dipenjarakan
di Bubutan, Surabaya. Di Jawa Barat perlakuan serupa dilakukan terhadap
KH. Zainal Mustofa, Tasikmalaya, bahkan sampai gugurnya karena di siksa
Dai Nippon. Beliau adalah Pemimpin Pondok Pesantren Sukamanah,
Tasikmalaya.
Tanggal 6 Agustus 1945 senjata dahsyat bom atom
dijatuhkan Amerika Serikat di atas kota Hiroshima, disusul kemudian
tanggal 9 Agustus born atom gelombang kedua dijatuhkan pula di atas
Nagasaki. Sekutu mengumandangkan kemenangannya. Bangsa Indonesia saat
itu sangat optimis dengan tekuk lututnya Jepang terhadap sekutu.
Ternyata pada tanggal 17 Agustus 1945 beberapa hari setelah pemboman
terhadap kedua kota itu kita bangsa Indonesia memperoleh hikmah, yaitu
kemerdekaan yang diperoklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Apakah
ini bukan rohmat dari Allah swt ?
Cobaan demi cobaan telah dan
akan selalu kita hadapi. Pada tanggal 19 September 1945 di Surabaya
terjadi peristiwa besar yang merupakan titik awal yang menyulut semangat
kepahlawanan rakyat Surabaya. Beberapa personil Belanda yang saat itu
membonceng sekutu berhasil menyamar sebagai Missi Sekutu mengibarkan
bendera merah putih biru di Hotel Yamato, Tunjungan Surabaya. Kemudian
personil Belanda lainnya setelah tiba di Tanjung Priok merayap keseluruh
pelosok Jawa di antaranya ke Bandung, Yogya, Magelang dan Surabaya. ini
merupakan tantangan berat lagi bagi bangsa Indonesia. Namun demikian
rakyat tiada mengenal mundur atau menyerah.
Begitu pula AI-Ustadz Rd.
H. Abdullah bin Nuh terus melanjutkan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan dengan memimpin barisan Hizbutlah dan BKRI TKR di kota
Cianjur bersama-sama dengan barisan lainnya hingga pertengahan tahun
1945.
Pada tanggal 21 Romadhon 1363 H/ 29 Agustus 1945 M, di
Jakarta dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNlP) dan sekaligus
melangsungkan sidang pertamanya. Ketua KNIP ditetapkan Mr. Kasman
Singodimedjo, salah seorang bakes Daidanco PETA Jakarta. Anggota KNIP
diantaranya adalah AI-¬Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh. Pada tanggal 4 Juni
1946 Pemerintahan R.I. pindah ke Jogyakarta.[pagebreak]
JOGYAKARTA DAN P.T.I. NYA (SEKARANG UII)
Yogyakarta
adalah sebuah kota kecil yang mendadak menjadi ibukota Repbulik
Indonesia dan pusat segala kegiatan politik. Semenjak awal 1946, situasi
politik terus meningkat dan ketegangan serta pergolakan terjadi di
mana-mana. Jogyakarta amat berat memikul beban nasional di atas
pundaknya. Namun AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh adalah benar-benar
seorang ulama pejuang yang pandai membagi waktu. Walaupun tugas beliau
sangat berat, sebagai tentara yang mewakili Jawa Barat dan anggota KNIP
lainnya, namun beliau masih sempat mendirikan RRI Jogyakarta siaran
Bahasa Arab dan kemudian mendirikan STI (Sekolah Tinggi Islam/ UII)
bersama dengan KH. Abdul Kohar Muzakkir.
Yang lebih unik lagi
ialah tidak melupakan tugas kekiyaian, yaitu mengajar ngaji. Hasil
didikan beliau waktu di Jogyakarta diantaranya adalah Ibu Mursyidah dan
AI-Ustadz Basyori Alwi, yang telah berhasil membuka Pesantren yang megah
di JI. Singosari No.90 dekat kota Malang, dan banyak lagi Asatidz
tempaan beliau.
Pada bulan Desember 1948 Jogyakarta bezet
(diduduki tentara Belanda). Tentara RI mundur dari kota Jogya dan
terjadilah perang gerilya selama 6 bulan, mulai dari Desember 1948 s.d.
Juni 1949. Perang gerilya ini dilakukan pula oleh para pejabat, walaupun
dia itu adalah seorang Menteri.
Pada bulan Juni itulah (tepatnya
tanggal 5) AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh menikah dengan Ibu
Mursyidah, salah seorang puteri didiknya yang telah disebut tadi.
Tanggal
29 Juni 1949 setelah tentara Belanda meninggalkan Jogyakarta, pasukan
Republik Indonesia yang sedang bergerilya bersama rakyat masuk kembali
ke Jogyakarta. Itu berarti bahwa, Jogyakarta kembali menjadi Ibukota
Republik Indonesia.
Sejarah pertama kali mencatat, yaitu tanggai 17
Desember 1946, Bung Karno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia
Serikat dengan mengambil tempat di Kraton Jogyakarta. Kemudian diakhir
tahun 1949 Pemerintah RI pindah ke Jakarta, dan saat itu pulalah
AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh bersama ibu Mursyidah (isterinya)
hijrah ke Jakarta.
JAKARTA DAN UI-NYA
Setelah
melalui liku-liku hidup dan mengarungi pasang surutnya gelombang
perjuangan, keluarga AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh menetap di Jakarta
selama lebih kurang 20 tahun, yaitu mulai tahun 1950 s.d. 1970, Di
Jakarta inilah beliau menjadikan ibukota sebagai arena pengabdiannya
kepada Allah swt dan kepada hamba-Nya. Beliau mengajar ngaji para
asatidz/ Mu’allimin, memimpin Majlis-majlis Ta’lim, menjabat sebagai
Kepala Seksi Bahasa Arab pada Studio RRI Pusat. Selain itu juga aktif
dalam kantor berita APB (Arabian Press Board). Kemudian pernah pula
menjadi Dosen UI (Universitas Indonesia) bagian Sastra Arab, pemimpin
Majalah Pembina dan Ketua Lembaga Penyelidikan Islam.
Di samping
itu pada tahun 1959 sebelum kepindahan ke Kota Bogor, beliau telah aktif
memimpin pengajian-pengajian di Bogor, yaitu :1. Majlis Ta’lim Sukaraja
(AI-Ustadz Rd. Hidayat) 2. Majlis Ta’fim Babakan Sirna (AI-Ustadz Rd.
Hasan) 3. Majlis Ta’lim Gang Ardio (KH. Ilyas) 4. Majlis Ta’lim Kebon
Kopi (Mu’allim Hamim)
Dan akhirnya pada tanggal 20 Mei 1970 Mama hijrah dari Jakarta ke Bogor.
MAMA DAN “AL-GHAZALY”
YIC “AI-Ghazaly” ialah Pusat Pendidikan Islam (Pesantren, Majlis Ta’lim, sekolah umum dan madrasah Diniyah).
“AI-Ghazaly”
sudah tidak asing lagi bagi Ummat Islam warga Bogor. YIC “AI-Ghazaly”
memiliki empat lokasi yaitu: AG I di Kotaparis , AG II di Cimanggu (H.
Firdaus), AG III di Cimanggu Perikanan dan AG IV di Cibogor.
YIC
“AI-Ghazaly” adalah Mazro’atul Akhiroh (ladang akherat) Mama. Tempat
Mama memberikan pelajaran kepada para Ustadz dan kyai-kyai yang berada
di sekitar Bogor, bahkan ada pula yang datang dari Jakarta, Cianjur,
Bandung dan Sukabumi.
Majlis-majlis Ta’lim yang ada dalam asuhan Mama
adalah : AI-Ghazaly (Kotaparis) AI-Ihya(Batu Tapak) AI-Husna
(Layungsari) Nurul Imdad (Babakan Fakultas, belakang IPB) Nahjussalam
(Sukaraja).
Kesemuanya itu adalah tempat pengabdian Mama setelah
usianya lanjut. Bagi Mama tiada hari tanpa kuliah shubuh. Kegiatan rutin
setiap minggunya adalah hari Senin s.d. Kamis di Majlis Ta’lim AI-Ihya,
Jum’at s.d. Ahad di AI-Ghazaly, sedangkan Ahad siang (ba’da dzuhur) di
Nahjussalam Sukaraja.
Selain itu, Mama juga mengadakan pengajian
khusus untuk para pemuda dan pelajar, mahasiswa/ mahasiswi. Demikian
kegiatan Mama di “AI-Ghazaly” yang tidak mengenal istirahat.
[pagebreak]
MAMA DAN “NAHJUSSALAM”
Nahjus
Salam ialah Pesantren idaman Mama yang belum terlaksana dengan sempurna
dan tentunya.wajib kita tanjutkan sampai tuntas. Jauh sebelum
merencanakan “Nahjus Salam”, Mama pernah mengutarakan keinginannya
kepada salah seorang muridnya: “Mama ingin sekali punya Pesantren”.
Kemudian muridnya itu bertanya: “Didaerah mana Mama ingin mendirikan
Pesantren itu? Di Bogor Timur, Ciluar atau di Cianjur?” Mama menjawab:
Di Sukaraja. Muridnya masih penasaran, kemudian melanjutkan
pertanyaannya: “Kenapa ingin di Sukaraja?” Beliau menjawab:
- Ingin dekat dengan makam eyang Mama (Kanjeng Dalem)
- Melaksanakan amanat Mama Ajengan Manshur (Bilamana Mama Ajengan Manshur wafat, harus diteruskan oleh beliau).
- Ingin istirahat total
Penulis
pada waktu itu tidak memperhatikan akan arti dan kandungan obrolan Mama
yang sebenarnya mendalam serta penuh dengan isyarat itu.
Maka
pada hari Sabtu tanggal 1 Muharram 1404 H, bertepatan dengan tanggal 8
Oktober 1983, dimulailah pembangunan fisik Pesantren Nahjus Salam yang
diprakarsai oleh para putera Almarhum Rd. H. Jamhur Ciwaringin Tanah
Sewa beserta sesepuh dan warga Sukaraja AI-Ustadz Hasanuddin. Bangunan
Pesantren tersebut selesai pada akhir bulan Rajab tahun itu juga.
Peresmian yang langsung diisi oleh Mama dilaksanakan hari Jum’at tanggal
25 Rajab 1404 H/ 27 April 1984, dan hari Ahad tanggal 12-Sya’ban (lebih
kurang 2 minggu setelah peresmian) dimulai pengajian di Nahjus Salam.
Keinginan
Mama selalu terkabul, sukses dan Barokah. Maunahnya mutai nampak dan
terlihat oleh khalayak ramai. Padahal menurut penulis setelah mengamati
dan selalu memperhatikan gerak-geriknya, Mama memiliki keutamaan
(kelebihan) ilmu, dan maunahnya telah terlihat dan terasa sejak Mama
mulai menetap di Bogor. Pernah penulis alami ketika pada suatu kejadian
yang membuktikan tentang itu.
Kira-kira tahun 1973 Mama bersama
penulis berziarah kepada seorang kyai yang telah dianggap wali oleh para
Ulama yang tahu tentang keadaan kyai itu. Ada tiga keanehan menurut
penulis yang sangat mencolok pada pribadi Mama saat itu: Pertama: Bukan
Mama yang masuk ke kamar Kyai yang sedang sakit berat itu, tetapi justru
kyailah yang datang menemui Mama di ruang tamu. Kedua: Mama memohon di
do’akan oleh Kyai itu, tetapi keadaan sebaliknya yang terjadi, yakni
Kyailah yang meminta di do’akan. Akhirnya Mama-lah yang berdo’a. Kyai
bersama penulis mengamini.Ketiga: Ketika Mama permisi, kyai itu
mengantarkan sampai ke pintu gerbang pekarangan rumahnya, sedangkan Kyai
itu tidak pernah melakukannya terhadap siapapun.
Dengan ketiga
hal yang menurut penulis mengandung keanehan itu, membuktikan bahwa
derajat Mama sudah lain dari pada yang lain. Obrolan Mama mengenai
“ingin istirahat total” ini merupakan isyarat bahwa kepulangan Mama ke
Rahmatullah telah mendekat. Karena hanya wafatnya hamba kekasih Allahlah
yang termasuk dan boleh dikatakan “Istirahat Total”. Permohonan Mama
ingin istirahat total dikabulkan oleh Allah swt.
Pada hari senin
malam selasa, jam 19.15 WIB ba’da Isya, tanggal 26 Oktober 1987
bertepatan dengan tanggal 4 Robi’ul Awwal 1408 H beliau pulang ke
Rahmatullah. “Innaa Lillaahi wa Inna Ilaihi Rooji’uuna”. Thoriqoh Mama
ada tiga: 1. Mengajar2. Muthola’ah 3. Mengarang.
Di mana saja
Mama tinggal, Mama betah, asal Mama bisa menjalankan yang tiga itu
dengan tenang. Jadi jelaslah, pindahnya Mama dan satu daerah ke daerah
lain adalah termasuk : yang mudah-mudahan pulangnya Mama ke Rahmatullah
pun demikian adanya, hijrah kepada keridhoan Allah swt. Amin
...[pagebreak]
AMANAHNYA
Di
dalam mengarungi dunia yang penuh dengan godaan dan sarat dengan
fitnah, Mama memberikan amanah kepada penulis tentang cara menghadapi
manusia-manusia di abad modern ini, yaitu harus berpendirian.
Khumul = Tidak ternama
Malamih = Manampakkan roman muka Tawakal kepada Allah swt.
Insya Allah selamat dari godaan dan fitnah.
AHLUL BAIT MAMA
Ibu Cianjur dan putra-putrinya: Ibu Cianjur adalah Almarhumah Ny. Rd. Mariyah (Ibu Nenden‘ Putra-putrinya adalah :
1.
Rd. Ahmad (Tanggerang) 2. Rd. Wasilah (Tanggerang). 3. Rd. Hj. Romlah
(Kotaparis, Bogor) 4. Rd. Hilal (Sukaraja, Bogor), 5. Rd. Hamid
(Australia) Ibu Bogor dan putra-putrinya :
Ibu Bogor adalah Dra. Hj. Mursyidah (Ummul Ghazaliyyin), Putra-putrinya adalah :
1.
Rd. Aminah (almarhumah) 2. Rd. Aisyah (almarhumah) 3. Rd. Hj. Mariyam
4. Rd. Zahro (almarhumah) 5. Rd. Zulfa 6. Rd. H. Toto Mustofa
Mama
telah pulang ke Rahmatullah Akan menerima keridhoan Allah Kita yang
ditinggalkan Wajib melanjutkan Amanat Mama kita laksanakan Thoriqoh Mama
kita jalankanMudah-mudahan riwayat hidup Mama yang ringkas ini menjadi
cermin untuk kita semuanya kaum muslimin-muslimat, baik tua maupun muda.
Amin ...
Karya-karya tulis K.H.R. Abdullah bin Nuh
I. Karya-karya tulis dengan bahasa Indonesia yang berbentuk buku diantaranya, yaitu:
1.1 Al-Islam
1.2 Islam dan Materialisme
1.3 Islam dan Komunisme
1.4 Islam dan Pembahasan .,
1.5 Keutamaan Keluarga Rosulullah
1.6 Islam dan Dunia Modern
1.7 Risalah As-Syuro
1.8 Ringkasan Sejarah Wali Songo
1.9 Riwayat Hidup Imam Ahmad Muhajir
1.10 Sejarah - Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten
1.11 Pembahasan Tentang Ketuhanan
1.12 Wanita Dalam Islam
1.13 Zakat dan Dunia Modern
II. Karya-karya tulis dengan Bahasa Arab yaitu berbentuk natsar (karangan bebas) dan syi’ir (puisi).
2.1 Dalam bentuk natsar (yang berbentuk buku) diantaranya berjudul:
Selain mengarang K.H.R. Abdullah bin Nuh juga menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan Sunda.
Kitab-kitab yang beliau terjemahkan kebanyakan karangan Imam AI-Ghazaly yang beliau kagumi.
Diantara terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia adalah:
1.
Renungan; 2. O’Anak; 3. Pembebasan dari Kesesatan; 4. Cinta dan
Bahagia; 5. Menuju Mukmin Sejati (Minhajul-Abidin, karangan terakhir
imam Ghazaly.
Adapun yang beliau terjemahkan ke dalam bahasa Sunda diantaranya berjudul: 1. Akhlaq; 2. Dzikir
Sebagai
seorang Ahli bahasa Arab, K.H.R. Abdullah bin Nuh menyempatkan diri
menyusun kamus bersama sahabatnya H. Umar Bakry, diantara kamusnya
adalah:
- Kamus Arab - Indonesia;
- Kamus Indonesia - Arab - Inggris;
- Kamus Inggris - Arab - Indonesia;
- Kamus Arab - Indonesia - Inggris;
- Kamus Bahasa Asing (Eropa), berkisar hubungan: - diplomatik politik- ekonomi, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar