
Dahulu, pada masa awal dakwah Rasulullah, setiap perintah dan larangan yang datang selalu direspon umat di masa itu dengan menggunakan instrumen keimanan. Tidak peduli apakah ia, menguntungkan atau merugikan, mudah ataupun sulit. Semangat keimanan melahirkan ruh-ruh keta’atan. Sami’na wa atho’na. Kami dengar dan kami taati. Termasuk di dalamnya ketika muncul kasus pengharaman babi secara kontekstual dalam Al-Qur’an. Para sahabat tidak lantas sibuk menanyakan dan bertanya-tanya. Kenapa? Apa bahayanya? Buah keimanan adalah munculnya khudznudzon mereka kepada Allah. Yakin bahwa di dalam larangan itu pasti ada kebaikan.
Maka kita sebagai seorang hamba, kita harus mendahulukan substansi “sami’na wa’atho’na” dan bukan “sami’na, sebentar, saya pikir-pikir dulu mau tho’at atau tidak?” Keimanan itu memang proses. Sebagaimana keimanan nabi Ibrahim, penghulu tauhid. Tapi setelah beriman, setiap resiko keimanan itu tidak lagi ditimbang-timbang. Tidak lagi kita ikuti ia dengan persangkaaan-persangkaan. Saya dengar dan saya ta’at dan bukan kemudian menantikan penjelasan efek-efeknya. Baik mudharat (efek negatif) maupun maslahatnya (efek positif). Yang jelas Allah mengganjar syurga bagi hamba-hambanya yang mena’atinya. Ini dicantumkan Allah dalam firmannya, Q.S. An-Nisa’: 13 “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”
Iblislah, Penghulu Gerakan Anti-Sami’na wa’atho’na
Malaikat
saat dititahkan untuk bersujud pada nabi Adam, tanpa banyak pertanyan
dan pemikiran segera bersujud. Malaikat mendengarkan dan mereka taati.
Sedangkan iblis laknatullah, penghulunya para pembangkang. Membantah
perintah itu. Dan ia malah memberikan argumen-argumen. Seakan ia merasa
lebih tahu dibandingkan Allah. Menganggap perintah Allah itu perlu untuk
diinterupsi dan kemudian bisa direvisi. Menganggap Allah bisa saja
salah bertindak ataupun memerintahkan. Ia merasa materi pembentuk
fisiknya lebih mulia. Dan ia terusir. Bukan saja dari syurga. Tapi
terusir dari sisi Allah. Dengan akhir pedih, penuh penderitaan.
Kenapa Sami’na Wa atho’na?
Kondisi
penduduk Mekkah dan Madinah masih ummy (buta huruf). Sehingga
perantaran dakwah melalui media tulisan menjadi sangat tidak efektif.
Jadilah setiap perintah dan larangan disampaikan langsung dari mulut ke
telinga. Sami’na wa atho’na. Setiap perintah itu mesti didengarkan dan
ditaati. Dan kemudian nilai-nilai mendengar itu ditarik hingga ke masa
sekarang, dimana kita tidak bisa lagi mendengar langsung perintah dan
larangan dari lisan Rasulullah. Sehingga jadilah kita, meskipun kemudian
mendengar perintah dan larangan itu bukan dari Rasulullah saw atau
malah dari sumber bacaan. Tetap saja secara substansi saat itu kita
adalah mendengar.
Sami’na
wa’atho’na hanya dilakukan pada tahapan kontekstual sebuah perintah. Dan
pada tahapan telaahan-telaahan dari para ulama. Maka seseorang sudah
boleh menggunakan pikirannya untuk memilih dari berbagai ragam hasil
kesimpulan ulama tersebut. Tentu dengan tidak lari dari tema sami’na
wa’atho’na itu sendiri.
(dari ringkasan Kajian Aqidah Ustadz Kamino di Masjid MBM, Purnawarman)
Sumber : klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar