Pages

Kamis, 10 November 2011

Uang Hilang dan Uang Jemputan Dalam Perkawinan Masyarakat Padang Pariaman


Kabupaten -Kab Pariaman
Tuesday, 15 March 2011 22:38
Seminar tentang uang hilang dan uang jemputan  yang digelar salah satu LSM Padang Pariaman diketuai Yohanes Wempi,  di Gedung Saiyo Sakato, Selasa (15/3/2011) mendapat sambutan pro kontra dari peserta yang hadir.

Seminar yang bertemakan Masih Relevankah Uang Hilang dan Uang Jemputan dipertahankan dalam syistem Perkawinan di Padang Pariaman. Menurut pemakalah Abu Nawas Sikab, asal Tumbuhnya Adat Uang Jemputan.

Katanya, di Minangkabau kaum perempuan merupakan pelanjut keturunan etnis Minangkabau sesuai dengan hokum materi lineal, bahwa system keturunan berdasarkan titisan ke ibuan. Oleh karena itu, kaum perempuan di Minangkabau diposisikan dengan sangat terhormat dan diletakan pada harkat dan martabat yang tinggi.

Berkaitan dengan hal itu, kaum perempuan perlu dijaga dan dipelihara kebesaran serta kesuciannya, sampai-sampai masalah jodoh pendamping hidup yang harus ditata dan dikondisikan sedemikian rupa agar jangan menimbulkan fitnah.

Makanya orang tua serta ninik mamak perempuan Minangkabau selalu berusaha mencarikan jodoh pendamping anak keponakannya laki-laki (bujang) yang berkualitas, terutama dari segi keturunan.

“Itulah sebabnya gadis sama bujang di Minangkabau tidak boleh berhubungan langsung karena, akan menghilangkan atau menggoda naluri kebenaran dan kebaikan. Akibat teracuni oleh perasaan cinta. Sesuai juga dengan ajaran agama Islam, bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh berdekatan kecuali dengan muhrimnya,” ujar Abu Nawas.

Oleh sebab itu, kedua orang tua beserta ninik sama mamak dalam menampakan tanda basa hormat mulianya, dia siap membasakan dan memuliekan orang yang akan menjadi junjungan (jodoh) anak,  kemanakan perempuan dengan cara mengadakan Uang Jemputan yang dinilai dengan emas sebagi lambang penghargaan tertinggi kepada calon minantu atau urang sumandonya.

Uang jemputan yang telah disepakati oleh keluarga  perempuan beserta korong dengan kampung dusun sama nagari itu, ditanggapi pula sepanjang adat oleh keluarga besar calon mempelai laki-laki dengan penghargaan dan penghormatan kembali yaitu mereka juga harus siap memberikan “baleh jalang” minimal dua kali lipat dari jumlah uang jemputan.

Karena dia juga tidak mau kerendahan sepanjang adat dalam ritual pernikahan anak kemanakannya tersebut. “Berarti Uang Jemputan disini bukanlah sebagai material pembeli laki-laki, tapi sebagi simbol saling menghargai dan memuliekan dua kaum yang terikat dengan silaturahmi dengan kontek “ipa bisa andan pasamandan’ dalam sistim perkawinan orang Padang Pariaman.

Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan di Minangkabau, begitu juga di Padang Pariaman, bukan sekedar antara dua anak cucu Nabi Adam yang berlainan jenis saja, tapi juga antara dua keluarga besar, antar dua korong kampuang, juga antar kesatuan masyarakat hokum adapt nan salingka nagari.

Jadi berarti Uang Jemputan merupakan sesuatu interaksi atau kesepakatan yang berdasarkan budi bahasa, raso pareso, yang mengutamakan sikap kearipan local berdasarkan adat basandi syarak. Syarak bersandikan  Kitabullah yang telah melalui suatu musyawarah dan mufakat dalam suatu nagari, korong dan kampuang.

Asal mulanya keberadaan Uang Hilang, dalam sistim perkawinan di Padang Pariaman, asal mulanya adalah ketidak tulusan dan ikhlasnya orang tua beserta ninik sama mamak seseorang dalam mengeluarkan biaya pendidikan anak kemanakan pihak laki-laki tersebut.

Makanya setiap anak laki-laki yang dipinang untuk menjadi minantu atau urang sumando. Orang tua laki-laki bersama mamaknya selalu menghitung-hitung kos (biaya) yang telah dikeluarkan selama pendidikan anak laki-laki, sehingga menjadi orang sukses. Biasanya keluarga ini ketika anak dan kemanakan laki-lakinya dipinang oleh orang dia akan meminta dua syarat yaitu, berapa emas jemputannya dan berapa uang hilangnya.

Hal ini tidak pernah disepakati oleh suatu kaum komunitas adat baik komunitas adat korong kampuang, maupun komunitas adapt nan salingka nagari, karena tidak pernah ada suatu kerapatan dijenjang apapun mengadakan musyawarah dan mufakat tentang keberadaan uang hilang dalam system  perkawinan di Padang Pariaman.

Abu Nawas berkesimpulan, bahwa Uang Jemputan adalah suatu kesepakatan dua kaum yang direstui oleh kesatuan masyarakat hukum adat mulai dari korong kampung sampai dusun sama nagari, dalam rangka saling memuliekan saling menghargai dan saling menghormati dalam tatanan kearifan local

“maha ndak dapek dibali, murah ndak dapek diminta”. Termasuk dalam jenjang adat yang  diadatkan dan dapat dipertanggung jawabkan, baik secara moral maupun secara` materil.

Sedangkan mengenai uang hilang yang terjadi sekarang dalam sistim perkawinan di Padang Pariaman, menurut Abu Nawas, pada prinsipnya adalah profit Orientic untung rugi, seolah-olah komersil dan jual beli yang disengaja. Maka dari itu Abu Nawas menyikapi hal ini tidak dapat dipertanggung jawabkan dari sudut hukum apapun. Baik hukum adapt, syara’ dan undang, termasuk dalam kategori ada nan teradat yang sampai sekarang belum ada dasar hukumnya. (004)   

Catatan Ku: Mungkin karna dasar kehormatan kepada seorang Perempuan atau Wanita itu, di Padang Pariaman sering terjadi Perjodohan karna untuk memberikan pendamping yang terbaik buat anak2nya.
seperti ada sebuah hadist (semoga saya tidak salah) yang berbunyi "Barang Siapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seumpama orang yang senantiasa menangis karena takut kepada Alloh SWT dan orang yang takut kepada Alloh SWT akan di haramkan api neraka menyentuh tubuhnya" wallohu a'lam.

Seperti yang pernah saya tulis tentang perjodohan, apakah pihak orang tua itu masih punya kebijaksanaan kepada anak2nya untuk memilih jodohnya sendiri???

dan untuk istilah Uang Hilang dan Uang Jemputan itu, sesuaikah dengan Hadis Nabi yang berbunyi "Wanita yang paling agung barokahnya, adalah yang paling ringan maharnya" (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang Sahih) "Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Alloh, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi walinya. (HR. Ashhabus Sunan)"
dan "Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang sederhana maharnya. (HR. Ahmad)"
dari Anas, dia berkata : "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaiman dengan Mahar berupa Keislamannya. (Ditakhrij dari An Nasa'i)"

dilihat dari artikel seminar diatas disitu di sebutkan lelaki yang dipinang harus memberikan uang pengganti minimal dua kali lipat dari uang yang di berikan pihak perempuan?? saya menggaris bawahi pendapat Abu Nawas, ini pernikahan apa jual beli secara halus?? saya masih tidak mengerti??
dan Setelah anak perempuannya itu menikah dan berumah tangga masihkah Orang tuanya mengatur hidup ank2nya itu? padahal dalam islam perempuan yang sudah menikah itu adalah Hak atas Suaminya.(InsyaAlloh akan saya posting juga tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri)

Ini hanya sebuah artikel yang saya kutip dan hanya untuk berbagi. Semoga Alloh Selalu Memberikan Berkahnya kepada kita Umatnya yang mau belajar, Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar